7.28.2008

Suzuki Swift





Ditawarin mobil baru? Kenapa gag?
Pilihannya SX4 atau Swift GT
Bingung siy.. Swift kecil, enak banget, kl SX4 gagah,
Tapi akhirnya pilihan jatuh ke Swift GT.. warna red burgundy!
Keren Sob..
Tapi sayang .. untuk warna ini Swift GT indent..
semoga cepat dapat
doain ya..
Hehehe






7.22.2008

Shalat Khusyu’



SHALAT KHUSU'? TERNYATA GA SUSAH & NIKMAT BENEEER!

Kemarin gw ke Gramedia untuk mencari buku-buku. Sambil melihat-lihat buku best seller, mata gw melihat buku dengan judul 'Pelatihan
Khusyu’. Gambarnya orang sedang sholat di tepi danau, dengan nuansa sampul putih dan biru air. Ada cetakan emas tulisan “Best Seller” di sampulnya. Penulisnya Abu Sangkan, nama yang rasanya pernah dengar, entah dimana.

Buku itu gw baca sehabis Isya’ hingga larut malam. Selesai jam 11 malam. kalimat pertama yang mengesankan saya adalah komentar Marwah Daud, yang meyakini bahwa karunia terbesar dalam hidup ini bukanlah kakayaan dan jabatan, tapi adalah diberi karunia shalat yang khusyu’. Dia yakini ini berdasar surat Qur’an Surat Al Mukminun 1-2, 'Telah beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu dalam sholatnya.Silahkan baca sendiri isi dan tipsnya, tulisan ini bukan tentang itu, tapi tentang pengalaman gw ketika isya (gw selalu sholat isya sebelum pergi tidur).
Lalu gw mulai shalat. Gw menyantaikan diri. Rileks. Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’ khusyu’, cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’ bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah sebagai hadiah nikmat kita menemuiNya.

Tips yang sangat sederhana, tapi ini bagi gw adalah lompatan paradigma!
Gw bersikap rileks. Kepala hingga pinggang dikendorkan. Berdiri santai, senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya sehingga luwes tertiup angin namun tak roboh.

Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan kita ciptakan.

Lalu gw mulai bertakbir, Allahu Akbar. Rasanya seperti baru belajar sholat lagi. Gw meresapi kesendirian dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk merasakannya. Saya sedang menemuiNya sekarang. Gw, ruh gw tepatnya. Badan fisik ini hanyalah alat yang mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam badan fisik.

Pernah sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Gw pernah, dan jujur saya kesal. Baru mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah ruku’. Gw mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal. Dan seterusnya. Gw kesal karena irama kecepatan sholat kami berbeda. Dia - menurut gw- terlalu cepat.

Ternyata demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain badan fisik kita ini sholat pula ruh kita. Ruh inilah yang benar-benar ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana kita mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya ingin sholat dengan tenang, santai, tuma’ninah. Sayangnya badan kita ‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena selalu ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut mantap dalam ruku’ itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal. Demikian pula saat sujud, duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud. Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.Maka gw shalat dengan sangat pelan. Santai. kalau sedang malas baca, gw diam saja. menikmati kepasrahan gw hadir menemui Tuhan.

Gw baca bacaan sholat dengan pelan. Gw mencoba berdialog, dan itulah memang makna sholat.Kita sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan kita kepada Allah. Kita adukan semua kebingungan kita, pekerjaan, rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa merasakannya, namun kalau dia dipaksa tertinggal-tinggal oleh gerakan badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.Saat ruku’ gw ruku’ lama, sambil menarik regang kaki dan punggung gw. Nikmati aja!

Saat sujud, gw tumpukan kepala sebagai tumpuan utama. Saat ruh telah ikut sujud, gw baca dengan penghayatan, “Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih” (Maha Suci Engkau yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). Terus gw lanjutin dengan doa dalam bahasa Indonesia, doa agar gw dan ade bisa jadi anak yang indah dipandang mata dan menyejukan hati orang tua, doa agar gw bisa menjadi manusia yang berguna bagi manusia lain, dan doa yang buanyaaak banget. Rasanya nikmat sekali sujud lama.Lalu, lalu gw duduk setelah sujud. Gw baca sepotong-sepotong bacaannya -sesuai tips buku itu!-. Robbighfirlii (Ya Tuhan ampunilah aku). Warhamnii (dan kasihanilah aku). Lalu gw diam. Tiba-tiba keluar sendiri air mata karena menyadari betapa dalam makna kalimat pengaduan ini. Kita minta secara langsung untuk dimaafkan . Ruh kita meminta secara langsung!!! dan Allah menjawabnya. , air mata itupun tumpah. Wajburnii (cukupkanlah kekuranganku). Diam. War fa'nii (dan angkatlah derajatku). Diam. Makin terharu. Warzuqnii (beri rizki padaku -Ya Allah), air mata tumpah, betul-betul tiba-tiba sadar bahwa selama ini mengejar-ngejar rizki tapi tidak serius mengakui itu dariNya, lalu saat ini saya sedang memintanya langsung! Wahdinii (tunjukilah aku -karena aku sedang bingung dan tak tahu). Diam,. Wa’aafinii (dan sehatkan aku). Wa’fuannii (dan maafkan aku- yang banyak dosa ini). Gw duduk lama sekali. Sambil mengusap air mata yang bercucuran.Shalat ini panjang. Ditutup dengan tasyahud yang bikin gw terharuuuu banget. Apalagi ketika membaca “Assalaamu’alainaa wa ‘alaa ibaadillahisshoolihiin” (keselamatan mohon dikaruniakan kepada kami -para ruh yang sedang menemuiMu- dan atas ruh-ruh ahli-ahli ibadah yang sholih). Gw keluar air mata sampe gag sadar mengusap lendir yang keluar dari hidung.

Setelah shalat sesuai dengan tips buku itu, gw mulai berdoa dengan meratap. Gw ucapkan hanya, “Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah…”, sambil mengangkat tangan setinggi wajah seperti seorang pengemis yang meminta-minta. Berkali-kali, hingga hati gw siap berdoa. Gw ingat buku pernah gw baca. Salah satu poin yang ingat adalah, kalau kita ingin dekat Allah maka kita harus sungguh-sungguh memanggilnya laksana seorang anak kecil yang ketakutan karena ada ular atau bahya, lalu memanggil-manggil ayahnya, “Ayah… Ayah… Ayah…”, maka ayahnya pasti datang dengan seruan itu dan melindungi anak tersebut. Demikianlah kalau kita ingin bebas dari maksiat, kata Al Ghazali, maka kita harus panggil dengan betul-betul ketakutan akan maksiat tersebut, kita panggil pelindung kita dengan sungguh-sungguh seakan anak kecil memanggil-manggil ayahnya, maka akan dilindungi kita dari maksiat tersebut.Lalu gw berdoa, dengan masih terus berair mata. Gw merasa mengadu dan masih mengadu di depan Tuhan secara langsung. Gw mengikhlaskan apapun jawaban dari doa saya tersebut.

Gw bahagia bisa merasakan sholat seperti itu. Tidak akan tergantikan dengan uang dan kemewahan dunia lainnya.

Gilaaaa......... Baru kali ini gw merasalan kesedihan yang luar biasa (karena gw adalah orang jarang bersedih! apalagi mudah keluar air mata..) Biasanya setiap sedih atau kecewa, gw cuma DIAM! tanpa kata, dan merasakan sendiri kesedihan dan kekecewaan itu!
Sungguh pengalaman yang menakjubkan. Cerita berhalaman-halaman tidak akan mampu melukiskan hal itu. Silahkan coba sendiri, rasakan sendiri, menangislah mengadu kepada Allah sendiri. Gw cuman mau berbagi cerita, dengan kekahwatiran gw kehilangan rasa yang sama di sholat berikutnya (insya Allah mudah-mudahan tidak akan hilang). Amin. Dan tidur gw malam itu tersa amat enteng.. amat pulas.. seperti semua rasa terangkat dari diri gw dan seperti bayi yang baru dilahirkan kembali!

Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.

7.19.2008

Fakta Mengejutkan di Balik Krakatau


  • Ternyata Gunung Krakatau yang meletus tahun 1823 bukan letusan yang pertama. Letusan pertama 416 sebeLum masehi dan tahun 1680 M.
  • Letusan pertama konon memyebabkan terbelahnya Pulau Jawa dan muncullah Pulau Sumatera. Tapi sayang jarang banyak buku yang mengisahkan letusan Krakatau I, ada beberapa tulisan Jawa Kuno yang menuliskan dahsyatnya letusan I
  • Letusan Krakatau menimbulkan gelombang tsunami setinggi 40 m dengan kecepatan 720 km/jam.
  • Gelombang tsunami ini sampai selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau.
  • Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km sepuluh hari kemudian.
  • Suara letusan Gunung Krakatau sampai terdengar di Alice Springs, Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.
  • Gelombang kejut yang terbentuk mampu merusak tembok dan menghancurkan jendela pada jarak 160 km.(bayangkaan dengan jarak Jakarta - Bandung yang cuma 120 km).
  • Rata-rata ketebalan debu bervolume 10 sampai 100 km3 atau dalam radius 10 mil setebal 10 kaki dan dalam radius 300 mil setebal 1 inci. Kekuatan ini hanya mampu dikalahkan oleh letusan gunung Thera di laut Aegea pada sekitar tahun 1650 SM.
  • Ledakan Krakatau setara dengan 200 megaton TNT dimana 150 megaton diantaranya dihasilkan oleh letusan ketiga. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
  • Debu yang dilontarkan sebanyak 21 km3 - terbawa angin sampai ke Madagaskar - mempengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan Stratosfer.
  • Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska.
  • Krakatau merupakan salah satu gunung berapi purba yang nampaknya menjadi salah satu gunung yang menentukan formasi pembentukan iklim Planet Bumi seperti yang kita lihat saat ini.
  • Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki.
  • Beberapa ahli geologi memprediksi letusan in bakal terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Melihat fakta diatas marilah kita MENCINTAI ALAM! SAVE OUR EARTH!!

7.18.2008

Cerita Gunung Krakatau



Krakatau - Lebih Hebat dari Bom Atom !!
Taken from August 1982 edition of Intisari Magazine http://www.intisari-online.com

Tanggal 27 Agustus nanti akan genap seratus sembilan belas tahun letusan dahsyat Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.

Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.”

“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”

Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”

“Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!”

Batavia Jadi Dingin

“Sementara itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”

“Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.”

“Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat masih terdegar suara gemuruh.”

“Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam - mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.”

“Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis.”

“Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!”

“Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: ‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.’”

“Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”

“Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu.”

“Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus.”

Serang Sunyi Mencekam

Kalau di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, tapi di daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu, akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar. Sembilan buah desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 Cina dan Timur Asing lainnya.

Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau. Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya. Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewatpukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus. Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering tetap turun.

Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan tertekan. Hewan peliharaan juga makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di dekat lampu. Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang langit mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-menerus dan bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu masih dinyalakan.

Surat-surat kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan 4 September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah dari saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer, dan Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda yang melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.

Ketika Siuman Semua Gelap

Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini mungkin yang terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, yang menyebutkan bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya, sebagian Merak yang lebih rendah letaknya, Pecinan, jalan kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan dan derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.

Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi sebelum ia mencapai puncaknya, ia sudah terkejar air pasang. Apa yang terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…

Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap.

Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun tak dijumpainya� semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia. Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14 m hanya tinggal lantainya saja.

Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung

Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman Patih dan Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.

Caringin yang berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.

Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

“Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu.”

“Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.”

“Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal…”

“Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras. Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.”

“Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras…”

Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api

“Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda kehidupan di kota kecil itu…”

“Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon sempat melakukan manouvre untuk menghindar, sehingga gelombang itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung…”

“Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung kini hanya air belaka…”

“Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan…”

“Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter.”

“Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut…”

Api Santo Elmo

“Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa terbakar.”

“Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”

“Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.”

“Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.”

“Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.”

“Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali. Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.”

“Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.”

“Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian…”

“Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan…”

“Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.”

Hujan Lumpur

“Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang berada di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak mendengar dentuman-dentuman itu.”

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat. Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu bara, gudang di dermaga, dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina. Gudang Garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.

Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya tenang. Sementara orang-orang yang sempat mengungsi ke tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk melihat keadaan.

Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan kayu-kayuan, dan melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.

Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.

Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah, terutama adalah yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.

Terjepit Dua Rumah

Seorang Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1883 sebagai berikut:

“Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah telah mempercepat jadwal kunjungannya. Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Saya segera kembali ke rumah.”

“Baru saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Kemudian air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”

“Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir…”

“Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”

“Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah.’”

“Baru saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir! Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang itu agar berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut sehingga semuanya tenang kembali…”

“Ketenangan itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.”

“Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.”

“Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap. Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Kemudian saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi…”

“Dengan batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.”

Kontrolir Berteriak Minta Tolong

“Akhirnya Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup lumpur sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya. Saya berjalan dalam keadaan kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”

“Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari sungai besar.’ Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”

“Tak lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak: ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu, tapi kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih gelap gulita…”

“Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami mencapai desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.”

“Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan. “Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu dan selop.”

Hujan Batu Apung Membara dan Abu Panas

Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan Residen. Termasuk Van Zulyen, klerk griffier pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda yang tewas. Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan, 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.

“Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan, dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga ikut meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”

Antar pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil memgungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Rajabasa. Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul sebelas hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang.

Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri saat mengenai kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar. Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Beyerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka mendengar bahwa kontrolir dan keluarganya mengungsi di Umbul Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kedirie bertolak ke Jakarta.

Tersangkut Di Pohon

Kapal bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya seorang kakek yang berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang, yang kemudian dirawat di rumah sakit umum di Jakarta. Dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa Belanda ia mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

“Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak jauh dari rumah saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada sehari-hari, tetapi saya tidak melihat gelombang atau hal lain yang mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya melihat air menggulung dari kejauhan, warnanya hitam dan tingginya menyerupai gunung. Saya hendak melarikan diri, tetapi sudah tak keburu sebab air telah mencapai saya, sehingga saya terseret.

Mujurnya, saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon itu sampai ke puncaknya. Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya seperti tibanya tadi. Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap bertengger di pohon, tak berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam air pasang tak kembali lagi, barulah saya perlahan-lahan merosot ke bawah. Tetapi saya tak mampu berjalan karena cedera akibat hempasan gelombang tadi. Jadi saya duduk dan rebah di bawah pohon penyelamat itu beberapa hari dan beberapa malam dalam keadaan antara sadar dan tidak, seperti terbius, tanpa mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya.

Tentu saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai suatu pagi, saya sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri saya, lalu mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh sebuah kapal api yang membawa saya kemari.”

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.

Bulan dan Matahari Berwarna-Warni

Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas dan gas beracun tak tercatat. Dari laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari Minggu pukul 18.00, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling banyak. Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh gelombang yang terakhir itu.

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang. Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km.

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi. Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengkibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit. Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang-gemilang, matahari dan bulan berwarna, dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau.

Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau “Lebih hebat dari bom atom.” Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedangkan korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini. Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.

7.17.2008

Gunung Krakatau


Gw seneng banget berada di tepi laut, selalu seneng mandangin laut dan langit yang seolah menyatu, memandang sunset ataupun sunrise, melihat lukisan alam yang luar biasa!
Nah, waktu shooting di Anyer kemarin, sambil memandang ke arah laut dan melihat anak Krakatau (Gunung Rakata) dari kejauhan, otak gw bekerja dan gw beribu pertanyaan melesat muncul dikepala gw, sedahsyat apa peristiwa meletusnya Krakatau 125 tahun yang lalu. Apakah lebih dasyat dari Tsunami di Aceh atau meletusnya Gunung Tambora 1815?. Seberapa besar daya dorong air laut kepermukaan sehingga mampu mengangkat karang sebesar 400 ton (sekarang bisa diliat di Karang Bolong), seberapa tinggi gelombang tsunami yang terjadi, bener ga siy Krakatau yang menyebabkan Pulau Jawa terbelah menjdi dua dan timbul Pulau Sumatera, dan seberapa banyak debu vulkanik yang tersebar... dan banyak lagi pertanyaan yang perlahan menuntut jawaban!
Dan jawabannya tetap harus gw tanya sama Mbah Google yang super tahu!
Sekarang (setelah baca beberapa situs) gw tau semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gw. Ini hasilnya (ditulis dari 3 situs yang berbeda)..

Gunung Krakatau adalah pulau gunung berapi aktif yang terletak di selat Sunda antara Pulau Sumatera dan Jawa. Ketinggiannya bila diukur dari permukaan laut adalah sekitar 790 meter. Letusan pertama - seperti dilaporkan dalam tulisan Jawa kuno - terjadi sekitar tahun 416 SM ketika sebuah letusan besar menghancurkan gunung dan membentuk kaldera selebar 7 km. Pecahan ini membentuk dua pulau baru yaitu pulau Verlaten dan Lang yang berlokasi di pecahan gunung tersebut, serta pulau Rakata Besar - yang dibentuk oleh tiga buah gunung yaitu Perboewatan, Danan dan Rakata -, Panjang dan Sertung .

Setelah 200 tahun lebih tertidur - aktifitas terakhir terjadi pada bulan Mei 1680-Mei 1681 di gunung Perboewatan - dan didahului oleh serangkaian gempa, aktifitas dimulai pada tanggal 20 Mei ketika terjadi letusan yang terdengar sejauh 160 km dan lontaran debu dan batu setinggi 11 km dari Perboewatan yang dilaporkan oleh kapten kapal Elizabeth - sebuah kapal perang Jerman. Kegiatan vulkanik terus terjadi selama 3 bulan termasuk Danan yang mulai aktif di bulan Juni. Pada tanggal 11 Agustus, gas dan debu dalam jumlah besar keluar dari 7 kantong uap yang terdapat di Perboewatan dan dari kaki dan puncak gunung Danan yang membakar hutan di pulau tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus pukul 1 siang, letusan mulai terdengar dan menyemburkan debu dan asap setinggi 36 km selama 4 jam serta menimbulkan tsunami pertama yang terjadi pada pukul 5 sore. Menjelang sore dan malam, terjadi letusan-letusan yang semakin keras terdengar. Keesokan harinya empat letusan dahsyat terjadi pada pukul 5:30, 6:42, 8:20 (yang terbesar) dan terakhir 10:02 yang semuanya terdengar di lebih dari 1/13 permukaan bumi mulai dari Pulau Rodriguez dekat Kepulauan Mauritius yang berjarak 4653 km dan Srilanka sampai Perth di Australia, menyemburkan debu dan asap ke udara setinggi 80 km dan menimbulkan 9 kali gelombang tsunami. Pada tanggal 27 Agustus ini, Batavia (sekarang bernama Jakarta) yang berjarak hanya 169 km dihantam tsunami setinggi 3 meter pada pukul 12:15 sampai 14:48 dan mengalami penurunan suhu yang cukup signifikan dari 27°C menjadi 18°C serta gelap gulita selama tiga hari.

Air laut yang masuk ke dalam retakan dapur magma menghasilkan uap sangat panas dan tekanan yang tinggi sehingga mampu menghasilkan letusan yang tercatat memiliki Indeks Kekuatan Vulkanik (VEI) bernilai 6 yang disebut juga Colossal. Standar pengukuran ini didasarkan kepada volume debu yang dihasilkan, ketinggian letusan yang diukur dari kawah dan lamanya letusan. Nilai 6 ini berarti memiliki standar ketinggian letusan minimal 25 km, rata-rata ketebalan debu bervolume 10 sampai 100 km3 atau dalam radius 10 mil setebal 10 kaki dan dalam radius 300 mil setebal 1 inci. Kekuatan ini hanya mampu dikalahkan oleh letusan gunung Thera di laut Aegea pada sekitar tahun 1650 SM yang meskipun mempunyai indeks yang sama yaitu 6 (update: direvisi menjadi 7 pada tahun 2004) namun berkekuatan 6½ kali letusan Krakatau, letusan gunung Tambora di Sumbawa pada tahun 1815 yang berindeks VEI 7, dan letusan Gunung Vesuvius di Italia pada tahun 79 SM yang mengubur kota Pompeii dan membunuh penduduknya dengan gas beracun.

Ledakan Krakatau setara dengan 200 megaton TNT dimana 150 megaton diantaranya dihasilkan oleh letusan ketiga. Kekuatan ini 10.000 kali lebih besar dibandingkan dengan kekuatan bom atom "Fat Man" yang dijatuhkan di Nagasaki yang "hanya" berkekuatan 20 kiloton TNT. Bandingkan juga dengan bom terbesar yang pernah dibuat - Tsar Bomba - yang berkekuatan 50 megaton.

Akibat yang ditimbulkan sangat luar biasa. Gelombang kejut yang terbentuk mampu merusak tembok dan menghancurkan jendela pada jarak 160 km. Gelombang tsunami mencapai ketinggian 36-40 meter, menghancurkan 165 desa nelayan dan merusak 132 lainnya di pesisir pantai barat pulau Jawa dan pantai selatan pulau Sumatera serta menelan korban paling tidak 36.417 jiwa. Tsunami bertemperatur tinggi ini mampu menghempaskan kapal Loudon yang sedang bersandar di Teluk Betung, Lampung sejauh 2,5 km ke daratan di ketinggian 10 meter, menghempaskan kapal The Berouw sejauh 3,3 km ke dalam hutan, juga mampu memindahkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan. Gelombang tsunami ini dirasakan di Auckland, Selandia Baru yang berjarak 7.767 km setinggi 2 meter, Aden - sebuah kota di pesisir selatan Jazirah Arab - yang terletak 7.000 km jauhnya dari Krakatau, Tanjung Harapan yang berjarak 14.076 km, Panama yang berjarak 20.646 km, Hawaii, pantai barat Amerika, Amerika Selatan dan bahkan sampai selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau. Di Tanjung Harapan dan Panama, kecepatan tsunami mencapai rata-rata 720 km per jam.

Debu yang dilontarkan sebanyak 21 km3 - terbawa angin sampai ke Madagaskar - mempengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan Stratosfer. Matahari terlihat biru dan hijau dari beberapa lokasi sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer dan mengelilingi katulistiwa sebanyak 13 kali. Efek lainnya menyebabkan sunset dan sunrise berwarna sangat merah selama hampir 3 tahun yang pada saat pertama kali kemunculannya mampu membuat pemadam kebakaran di kota New York dan New Haven bersiaga penuh. Keanehan-keanehan tersebut juga diabadikan oleh beberapa orang seniman dalam bentuk lukisan seperti lukisan karya William Ashcroft yang melihat fenomena tersebut di tepi sungai Thames pada tanggal 26 Agustus 1883 dan lukisan "The Scream" karya Edward Munch tahun 1893 tentang langit yang berwarna merah darah di Norwegia.

Letusan dahsyat ini menghancurkan 2/3 bagian pulau dari arah utara ke selatan, menghancurkan gunung Perboewatan dan Danan dan hanya menyisakan sebagian gunung Rakata yang terletak di bagian selatan pulau. Danan yang sebelum letusan berketinggian 450 meter di atas permukaan laut berubah menjadi 250 meter di bawah permukaan laut. Dua pulau baru - Calmeyer dan Steers - dari debu vulkanik dan batuan juga terbentuk di sebelah utara hanya dalam waktu semalam meskipun kedalaman laut di daerah itu mencapai 36 meter.

Pada tanggal 29 Desember 1927, letusan di bawah laut di kedalaman 188 meter menandai kebangkitan kembali Krakatau setelah 44 tahun. Kemudian pada tanggal 26 Januari 1928, sebuah kerucut pertama kali muncul di atas permukaan laut dan setahun kemudian Anak Krakatau muncul sebagai pulau yang baru terbentuk yang terletak di tengah-tengah Perboewatan dan Danan dahulu dan diapit oleh pulau Sertung dan Rakata Kecil. Sejak ditemukan, Anak Krakatau terus tumbuh menjadi gunung api yang sangat aktif dengan pertumbuhan rata-rata 5 inci per minggu sampai sekarang telah mencapai ketinggian sekitar 305 meter dari permukaan laut akibat dari beberapa letusan dan aktifitas vulkanik yang terjadi antara lain tahun 1959-1963 dan Maret 1994-Maret 1995. Letusan yang terbesar terjadi pada bulan Mei-Juni 1995 yang menyemburkan debu setinggi 150-400 meter. Laporan aktifitas lengkapnya bisa dilihat di sini.

Catatan:
Buku terlengkap yang membahas tentang meletusnya Gunung Krakatau di tahun 1883 secara detail adalah "Krakatau 1883: The volcanic eruption and its effects" karya Simkin dan Fiske yang diterbitkan tahun 1983 atau buku "Krakatoa : the day the world exploded" karya Simon Winchester yang terbit tahun 2002. Ada yang punya kedua bukunya? Mau donk!!


Gunung Krakatau
Krakatau adalah gunung berapi yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Gunung berapi ini pernah meletus pada tanggal 26 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat. Suara letusan Gunung Krakatau sampai terdengar di Alice Springs, Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.

Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.

Letusan Gunung Krakatau
Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, meledaklah gunung itu. Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geoghrapic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluh-lantakkan dalam sejarah manusia moderen. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.

Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. Sedangkan buku The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.

Selain itu, ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencavai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.

Akibat letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.

Anak Krakatau
Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan in bakal terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya.

Sumber : Majalah Hidayatullah edisi Agustus 2006.

Senin, 27 Agustus 1883, gunung yang selama 99 hari telah menggeram dan menggeliat-geliat itu akhirnya meledakkan dirinya dan lenyap atau moksa dari muka bumi ini. Selama 65 juta tahun dua pelat tektonik yaitu pelat tektonik oceanik indo australia dan pelat kontinental Asia bergerak perlahan tetapi mantap dan saling menyikut, dengan istiqomah yang ditetapkan penciptanya, dengan kecepatan 4 inchi per tahun atau 100 mm per 365 hari. Hari itu, tanpa disadari oleh banyak orang di Hindia Belanda dengan pusat aktivitas di Batavia, puncak dari pergeseran bawah Planet Bumi yang ada di wilayah Indonesia selama jutaan tahun telah terjadi. Malam sebelumnya The Great World Circus yang melawat ke Hindia Belanda mempertunjukan penampilan terbaik mereka, dan artis-artisnya sekarang telah mendapatkan penginapan baru. Dua malam sebelumnya, terjadi keributan kecil karena mengamuknya seekor gajah kecil dalam hotel Des Indes yang nampaknya mencium hawa amarah wilayah Jawa Barat yang berasal dari Krakatau. Hotel Des Indes merupakan salah satu hotel berbintang dari 3 hotel yang mewah yang ada di ibukota Hindia Belanda Batavia. Itulah selintas kutipan bagaimana penulis buku “Krakatau” Simon Winchester mengilustrasikan apa yang terjadi pada saat menjelang D-Day meletusnya Krakatau, Senin 27 Agustus 1883, 123 tahun yang lalu di Indonesia hari ini. Menjelang titik puncak letusan, Krakatau diketahui telah kejang-kejang dan sekarat selama 20 jam 56 menit. Puncaknya terjadi dengan ledakan mahadahsyat yang oleh semua pengamat disepakati terjadi pada pukul 10.02 pagi dengan gelombang kejut yang menjalar mengelilingi dunia seolah-olah bertasbih sebanyak 7 kali dan mulai berhenti pada pukul 1.23 siang pada hari Senin tanggal 27 Agustus 1883. Pada jam 10.02 pagi, setelah terbatuk-batuk 3 bulan lebih Krakatau pun memuntahkan semua isinya, pulau kecil di selat Sunda yang sejak dahulu kala diketahui menyimpan misteri dengan berbagai sebutan seperti Rakata atau Gunung Kapi alias Karang Api itu pun lenyap memuntahkan semua isinya ke atas langit di Planet Bumi yang gaungnya terdengar berkilometer-kilometer dari tempat asalnya, debunya mengitari bumi selama hampir berbulan-bulan mengubah kontalasi iklim Planet Bumi memasuki wilayah yang tidak menentu. Korban akibat letusan Krakatau diperkirakan mencapai 36.000 jiwa yang umumnya musnah ditelan tsunami akibat melonjaknya air laut ke permukaan dengan ketinggian 30 meter dan menelan segala yang ada di sekitar wilayah letusan, khususnya daerah Banten dan Lampung saat ini. Letusan Krakatau pada tahun 1883 bukanlah letusan yang pertama. Catatan sejarah yang dikutip Simon Winchester menyebutkan bahwa Krakatau diketahui pernah meletus sekitar tahun 416 M (tahun ini merupukan dugaan karena bukti yang kurang kuat), 535 M (bukti cukup sahih), dan tahun 1680 M sebelum letusan tahun 1883. Bahkan, beberapa informasi yang kurang akurat karena diselimuti legenda dan mitos menyebutkan adanya 7 letusan Krakatau diantara periode abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi. Namun, bukti-buktinya kurang akurat. Secara geologis, Krakatau nampaknya merupakan gunung berapi purba yang mempunyai peran juga dalam pembentukan iklim Bumi pada sekitar 60.000 tahun yang lalu, atau sekitar periode zaman es. 15 000 tahun sebelumnya (75 ribu tahun yang lalu), para geolog memperkirakan terjadinya suatu letusan lebih purba dari suatu gunung purba yang saat ini menjadi Danau Toba , yang membawa Planet Bumi memasuki zaman es atau Pleistocene. Krakatau merupakan salah satu gunung berapi purba yang nampaknya menjadi salah satu gunung yang menentukan formasi pembentukan iklim Planet Bumi seperti yang kita lihat saat ini. Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, Para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di selat sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang sisi sisinya dikenal sebagai pulau rakata, pulau panjang dan sebuah pulau lagi. Ia merupakan satu dari 3 gunung purba yang masih terlihat. Gunung pertama jauh lebih purba lagi telah hancur menjadi kaldera yang saat ini menjadi Danau Toba di Sumatera Barat, gunung lainnya adalah Gunung Tambora yang juga mempunyai kaldera raksasa dan pernah meletus sekitar tahun 1815 yang melenyapkan dua kerajaan Islam yang ada di Lombok. Baik Toba, Krakatau, maupun Gunung Tambora merupakan bagian dari jajaran gunung berapi di Indonesia yang mengalungi wilayah tengah Indonesia (RING OF FIRE) sebagai zona patahan tektonik paling aktif sampai hari ini. Menurut data terakhir, jumlah gunung berapi di Indonesia ada sekitar 129 buah, 79 diantaranya masih aktif salah satunya adalah Gunung Anak Rakata sebagai gunung anak yang muncul dari tempat dimana dulu bapaknya yaitu Gunung Rakata alias Krakatau 123 tahun yang lalu mengguncangkan Planet Bumi pada tanggal 27 Agustus 1883 dengan korban sekitar 36000 jiwa.

Photo2 Adegan






Sob, sesuai dengan janji gw, ini gw posting photo2 adegan film BASAHHH... Baru sedikit siy, Kak Mia (starvision) baru ngasih yang ini aja.. Eniwe Thanks 2 Kak Mia!
Lucu-lucu... Semoga film ini bisa memberi warna lain dalam industri perfilman tanah air! Amin






Opa Jaja Miharja as papanya Kipli yang seneng banget sama Jupe!

7.16.2008

Kuingin Kau Berubah



Aku lelah menunggumu
Aku lelah menantimu berubah arah

Aku lelah hanya melihatmu

Aku lelah dalam kelelahanku


Cintakah kau padaku

Pada rasa yang selalu terberi

Pada kasih yang kerap menanti

Pada janji yang tak pernah dapat terungkap


Kemanakah dirimu yang kumau
Dimanakah sifatmu yang kuingin


Tak bisakah kau berubah
Tak bisakah kau menjadi yang terbaik dalam diriku

Tak bisakah kau mencari surga bagi hidupku
Tak bisakah kau menjadi terang dalam setiap gelapku


Walau kau bidadari pagiku
Walau kau dewi malamku

Walau kau tumpahan semua asa

Kurasa..

Ku tak sanggup lagi bertahan

Menantimu..

untuk..

Berubah…..

7.15.2008

Danau Terbesar di Dunia "Mendidih"


Suhu rata-rata Danau Baikal, danau air tawar terbesar di Asia dan terdalam di dunia yang terletak di Siberia, Rusia mengalami kenaikan lebih cepat daripada kenaikan rata-rata suhu udara di dunia selama 60 tahun terakhir. Hal tersebut menyebabkan nasib hewan-hewan unik yang hidup di perairan tersebut dalam keadaan terancam punah.

Kenaikan suhu di danau tersebut mencapai 1,21 derajat Celcius sejak 1946 akibat perubahan iklim atau hampir tiga kali lebih cepat daripada kenaikan suhu udara global. Hal tersebut dikatakan Marianne More, seorang profesor di Wellesley College di Massachusetts, AS, salah satu penulis dari karya tulis ilmiah yang akan dipublikasikan dalam jurnal "Global Change Biology" edisi Mei 2008.

Danau yang mengalami perubahan temperatus secara cepat itu memiliki 20 persen ikan air tawar yang ada di dunia yaitu sekitar 2.500 spesies yang tak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Bahkan, di antaranya terdapat satu-satunya anjing laut air tawar.

Jika tren naiknya temperatur tak dapat dicegah, lapisan es dapat hilang seluruhnya dari permukaan danau tersebut. Moore mengatakan, anjing laut air tawar yang membesarkan anak-anak mereka di atas lapisan es dapat sangat menderita karena hal tersebut. Anak-anak anjing laut air tawar juga lebih rentan terhadap serangan predator jika tak ada lagi gua-gua es sebagai tempat terlindungi.

"Perubahan dari mata rantai bahan makanan juga telah berubah. Jumlah zooplankton multiseluler yang biasanya hidup di air yang jauh lebih hangat telah meningkat menjadi 335 persen sejak 1946, sementara jumlah chlorophyl telah meningkat 300 persen sejak tahun 1979," kata Moore. Selain itu jumlah diatom yang hidup di es yang kemudian mati dan menjadi makanan bagi organisma kecil yang hidup di dasar danau juga makin berkurang.

"Berkurangnya lapisan es akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan pemanasan global itu sendiri," tandas Moore. Penemuan tersebut juga berarti hal yang lebih buruk dapat terjadi pada danau-danau yang lebih kecil lainnya. Selama ini, para ilmuwan berangapan volume air yang banyak di danau tak mudah terpengaruh dampak dari pemanasan global, namun kenyataanya sangat rentan.

WAH
Sumber : Antara

Yuk, Bantu Kurangi Global Warming


Fakta
Indonesia masuk dalam daftar Guiness World of Record dan baru saja mendapat gelar The Fastest Forest Destroyer alias penghancur hutan tercepat di dunia.
-Didapat dari Tempo-

Sebagian wilayah Bali diprediksikan akan tenggelam dalam 23 tahun ke depan, sebagai dampak pemanasan global. Pasalnya, saat itu permukaan air laut diperkirakan akan naik sekitar 6 meter, sehingga wilayah pantai wisata seperti Kuta dan Sanur praktis lenyap.
- Sumber nusa bali-

Berikut ini beberapa tips untuk membantu mengurangi pemanasan global (global warming).

1. Kurangi penggunaan tas plastik & kertas
Kalau cuma beli teh kotak 1 dan cemilan 1 bungkus, gak usah pake tas plastik gak papa kan? Bayangkan, kalau dalam satu hari kita bisa mengurangi pemakaian 2 buah tas plastik saja, berarti dalam 1 tahun lebih dari 500 tas plastik yang bisa kita kurangi. Dikalikan satu kampung, satu kota, satu negara… Jadi banyak deh! Mengurangi seperempat jumlah sampah kita sama artinya dengan mengurangi ratusan kilogram emisi karbon dioksida setiap tahunnya.
Untuk keperluan nge-print draft atau corat-coret di kantor, gunakan kertas bekas. Selain menghemat pengeluaran kantor, bayangkan berapa banyak pohon yang akan terselamatkan.


2. Kurangi penggunaan AC
Waktu tidur malam hari, jangan stel AC terlalu dingin. Dengan menaikkan suhu AC kita 2 derajat saja setiap harinya, kita bisa mengurangi penggunaan karbon dioksida hingga 1 ton setiap tahun..Apalagi jika mematikan AC....
Tips menghemat AC:
* Jika ruangan sudah terlalu dingin, kecilkanlah AC
* Tutuplah pintu ruang-ruang yang tidak terpakai, dan tutuplah pintu dan jendela dalam ruangan ber-AC
* Matikan lampu dan alat listrik lainnya saat meninggalkan ruangan
* Gunakanlah lampu kecil yang terfokus ke daerah kerja, seperti untuk membaca, menjahit, menulis, dsb daripada menggunakan lampu besar yang boros.
* Jika membeli lampu belilah lampu fluorescent atau (Compact Fluorescent Light/CFL). Meski lebih mahal harganya namun bisa menghemat 80 persen dan delapan kali lebih lama dibanding lampu pijar

3. Ganti bola lampu dengan lampu hemat energi
Lampu hemat energi (compact fluorescent light atau CFL) nampaknya lebih mahal dibandingkan bohlam lampu biasa. Padahal, lampu jenis ini 10 kali lebih awet, menghemat energi lebih dari 60%, dan panas yang dihasilkan 70% lebih sedikit, sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca.


4. Drive Smart
Oke deh, memang sistem transportasi dan kemacetan di Indonesia yang semrawut mengakibatkan polusi tingkat tinggi. Tapi masih ada hal-hal yang kita bisa kita lakukan kok untuk menghemat energi. Contohnya, menjaga agar ban mobil kita tidak ‘kurang angin’ sehingga lebih hemat bahan bakar.


5. Matikan keran & peralatan listrik yang tidak terpakai
Biasakan untuk mematikan lampu pada saat kita keluar dari ruangan. Matikan juga TV, stereo. Pada saat kita menggosok gigi atau mencuci mobil, matikan keran supaya air tidak terbuang percuma.

6. Matikan Komputer.....
Biasakan mematikan komputer setelah memakainya. Misal: kita biasa tidur mendengarkan mp3 lewat komputer, maka ganti ke mp3 player atau kaset. Ingat Matikan komputer......

7. Tanam pohon,yuk...
Selain menyegarkan mata, ingat kan pelajaran biologi di sekolah dulu.. menanam tanaman akan mengurangi jumlah karbon dioksida di sekitar kita. Tau nggak,menanam tanaman sederhana seperti spider plant (tanaman hias berdaun ramping bergaris-garis putih, banyak dijual di tukang tanaman) saja bisa mengurangi jumlah karbon dioksida di sekitar kita sebanyak 60 persen

8. Gunakan produk-produk yang ramah lingkungan
Berhati-hatilah memilih produk apapun yang kita beli. Misalnya, telitilah apakah sabun cuci yang kita pakai mudah terurai atau tidak. Pilihlah mobil yang hemat bahan bakar, dan komputer atau laptop yang sudah memiliki tanda “energy star”. Untuk membersihkan kamera, laptop, atau aneka gadget lainnya, cukup gunakan Chammy. Chammy dibuat dari 100% chamois leather asli yang diproses melalui proses yang ramah lingkungan, tanpa penggunaan bahan kimiawi. Selain itu, Chammy bisa dipergunakan berulangkali, sehingga amat ekonomis.

Kalau tidak dimulai dari kita, siapa lagi??

Ini Websitenya Green Peace

Ini Websitenya Stop Global Warming
Template dibuat oleh : irshadi bagas